Selasa, 21 Juni 2011

Pentingnya UPK Sebagai Lembaga Antar Desa Dalam Naungan BKAD

Analisis kebutuhan kebijakan tentang UPK
Oleh: Lendy W Wibowo

_____________________________________________________________________________
 
Tulisan ini dibuat untuk meyakinkan efektivitas keberadaan UPK sebagai lembaga pengelola kegiatan antar desa. Selain itu, tulisan ini untuk mensikapi wacana menjadikan UPK sebagai badan usaha lain, yang bertentangan dengan aspek kesejarahan dan kebijakan yang telah dikeluarkan. Dalam kaitan ini UPK dalam naungan BKAD merupakan kebijakan yang perlu digarisbawahi terkait kebutuhan payung hukum.


I.                Latar Belakang Masalah

UPK adalah lembaga pengelola kegiatan antar desa. UPK dibentuk dan dikembangkan melalui PNPM Mandiri Perdesaan (sebelumnya PPK). Saat ini UPK telah berdiri pada 4000 kecamatan, mengelola dana masyarakat kisaran 4 trilyun rupiah. Kepemilikan asset yang dikelola oleh UPK berada di masyarakat. Secara organisasi UPK adalah unit kerja di bawah naungan BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa). Kedudukan BKAD dalam peraturan perundangan berada dalam PP 72 tahun 2005 Tentang Desa. Dalam hal ini kedudukan UPK sebenarnya sudah cukup kuat.

Payung hukum UPK terkait dengan kebutuhan perlindungan dan pelestarian aset, sistem, serta manfaat layanan UPK bagi masyarakat. Kebijakan payung hukum UPK juga terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan serta sudah dijalankan di lapangan bahwa UPK adalah unit kerja pelaksana mandat BKAD. Payung hukum UPK diletakkan dalam kaitan kedudukan UPK yang secara organisatoris di bawah naungan organisasi kerja BKAD. Saat ini di lapangan sebagian UPK telah dipayungi dengan produk hukum daerah, diantaranya melalui Peraturan Bupati tentang BKAD-UPK.

Analisis masalah dalam tulisan ini dibatasi pada Payung hukum UPK dikaitkan dengan capaian kinerja dan pengembangan kelembagaan”. Dalam tulisan ini disampaikan mengenai capaian dan hasil yang telah diperoleh melalui implementasi kebijakan yang telah dikeluarkan (Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa).

II.              Analisis Masalah Lapangan

Analisis dibuat berdasarkan identifikasi motif kebutuhan, telaah teoritis dan kebijakan program, serta perkembangan implementasi kebijakan. Asumsi dari lapangan yang berkembang tentang kebutuhan payung hukum sekurang-kurangnya ada 3, yakni motif permasalahan karena pelanggaran pelaku, motif dampak pertukaran program, dan motif peluang.

1.     Payung hukum dan pelanggaran pelaku.
Beberapa UPK telah melakukan tindakan yang melanggar aturan main program. (Tindakan melanggar aturan main program termasuk pelanggaran prinsipal, menyangkut pelanggaran kontrak para pihak, lihat teori agensi). Bentuk pelanggaran itu antara lain (kasus) pengambilan sepihak kepemilikan asset/inventaris, misalokasi anggaran kegiatan UPK, pelanggaran mekanisme keputusan partisipatif, kegagalan menterjemahkan mandat dan kewenangan pengurus.

Hampir semua laporan tentang permasalahan UPK yang berimplikasi terhadap kebutuhan perlindungan/payung hukum selalu didasari permasalahan yang bersifat internal karena pelanggaran aturan main pelaku. Belum ditemukan adanya laporan mengenai ancaman eksternal yang faktual terhadap UPK beserta aturan main yang melengkapi, misalnya ada lembaga yang akan mengakuisisi UPK.

Pernyataan bahwa payung hukum dapat menjawab kebutuhan  agar perilaku melanggar aturan main program menghilang adalah bias dan menyesatkan. Justru berfungsinya suatu sistem tidak bisa didekati hanya dengan menerbitkan peraturan yang bersifat top down. Badan hukum koperasi adalah contoh dimana pendekatan formal-legalistik tidak cukup tangkas memagari institusi dari perilaku mengambil untung para pengurusnya.

Talcott Parson justru menawarkan pendekatan revitalisasi sistem organisasi agar berfungsi secara utuh mencakup aspek kemampuan adaptasi organisasi, integrasi hubungan antar fungsi, tujuan organisasi, dan penanaman nilai organisasi (George Ritzer, Douglas J. Goodman, 2008). Keempat pendekatan itu lebih mengedepankan aspek fungsionalisasi organisasi sebagai jalan keluar ancaman moral hazard pengurus organisasi. Motif permasalahan karena andanya pelanggaran pelaku sebagai dorongan kebutuhan adanya payung hukum secara teoritis dan pengalaman lapangan kurang berdasar.

2.     Payung Hukum Dan Pertukaran Program.
Dalam situasi khusus (telaah tentang kebijakan alih kelola dan implikasinya, Lendy Wibowo, 2009) terkait lokasi pertukaran program dijelaskan bahwa lokasi pertukaran program harus tetap memperhatikan aturan main program sebelumnya (hal ini agar internalisasi program sebelumnya, yang telah menjadi habitus di masyarakat tidak menimbulkan biaya sosial, lihat tentang habitus di buku teori Sosiologi Modern, George Ritzer, Douglas J. Goodman dan Penjelasan XI, PTO PNPM Mandiri Perdesaan 2009).

Jika terjadi pelanggaran mendasar, misalnya ada perubahan status kepemilikan asset, penyelewengan mandat masyarakat, dan pengambilan kewenangan secara sepihak hal itu perlu dipelajari lebih teliti. Ketiga pelanggaran ini dapat diberikan contoh sebagai berikut, berubahnya asset masyarakat menjadi asset personal, berubahnya mandat masyarakat ke  mandat pengurus, berubahnya kewenangan berbasis aturan main menjadi kewenangan yang diselewengkan.

Sementara itu berdasarkan evaluasi yang dilakukan tentang dampak pertukaran program dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.  Tidak terjadi alih fasilitasi pada pelaku di kecamatan, fasilitasi dengan intensitas yang berbeda-beda masih dilakukan oleh fasilitator/konsultan program sebelumnya.
b.  Pengalihan fasilitasi di desa bersifat variatif, pada tingkat intensitas yang minimal, ada beberapa pelaku program tingkat desa yang dilibatkan, terlibat, melibatkan diri dalam program baru.
c.  Ada laporan beberapa lokasi terjadi pembiaran, konflik dini, kecemburuan antar pelaku.
d.  Pada lokasi eks PPK, belum ada laporan terjadi pengalihan aset kepada pihak lain.
e.  UPK masih mengelola kegiatan dana bergulir, sekalipun tidak dilibatkan dalam program baru, sehingga relatif masih berjalan dan berfungsi (pada aspek pelembagaan).
f.   Permasalahan disampaikan misalnya tentang terjadinya konflik, asset yang hilang, mekanisme tidak berjalan, akan tetapi ternyata setelah dikonfirmasi lebih bersifat kekhawatiran.
g.  Belum ada laporan adanya kegiatan fasilitasi bersama terhadap kegiatan tertentu.
Perubahan kepemilikan asset, perubahan mekanisme, perubahan mandat dan kewenangan, jika itu terjadi dalam beberapa situasi, dapat dijawab dengan pendekatan regulasi. Hanya pertanyaannya regulasi seperti apa, pada level atau jenjang mana peraturan itu dikeluarkan. Keluarnya peraturan ini lebih sebagai penguat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan.

3.     Payung Hukum Dan Peluang Kerjasama.
Adanya pandangan dan opini bahwa peluang bagi pengembangan UPK (kerjasama pihak ketiga, CSR), hanya bisa dijawab dengan payung hukum. Opini ini jika dipahami secara dogmatis, akan menimbulkan kegagalan motivasi UPK untuk mencari dan menjalani rute sesuai kemampuan yang dimiliki. Rute itu dijalani dalam bentuk kerja fasilitasi dan bukannya sesuatu yang didapat tanpa kerja keras.

Kebutuhan payung hukum dapat menjadi pernyataan atas kegagalan membangun spirit kerja fasilitasi yang laten/berulang. Peluang dapat didekati dengan analisis SWOT, jika kerjasama dengan pihak ketiga adalah peluang yang tidak terbantahkan, maka identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan organisasi menjadi dasar rasionalitas yang harus dilakukan untuk menangkap peluang itu.

Peluang kerjasama harusnya diletakkan dalam rute yang bertahap. UPK yang matang dalam menjalin kerjasama harusnya mempunyai cara untuk menunjukkan diri tentang kematangan internal (adaptasi, tujuan, integrasi fungsi, dan latensi) dan kematangan kerjasama (dimulai dari tingkat pemula, tingkat siap, dan tingkat mandiri). Payung hukum mungkin dibutuhkan jika pola kerjasama sampai tingkat mandiri (dimana pihak ke-2 selain mensyaratkan kematangan internal juga mensyaratkan aspek payung hukum organisasi).

Pihak ke-2 yang merespon tawaran kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan payung hukum UPK serta mengabaikan kematangan internal organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama.

Argumentasi ini didukung adanya fakta perkembangan kerjasama dengan pihak ketiga secara nasional yang menunjukkan kinerja dan kapasitas kelembagaan antar desa mampu melakukan kerjasama dengan pihak ketiga. Secara nasional justru saat ini telah terjalin sebanyak 103 pola kerjasama kelembagaan antar desa dengan pihak ketiga. Hal ini membuktikan bahwa secara kelembagaan, implementasi kebijakan pengembangan kelembagaan antar desa melalui program telah mampu membangun trust dan sinergi dengan pihak ketiga.(LW-Bersambung)


III.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar