Selasa, 21 Juni 2011

Pentingnya UPK Sebagai Lembaga Antar Desa Dalam Naungan BKAD (bagian kedua)


Analisis kebutuhan kebijakan tentang UPK
Oleh: Lendy W Wibowo

______________________________________________________________________________


Tulisan ini dibuat untuk meyakinkan efektivitas keberadaan UPK sebagai lembaga pengelola kegiatan antar desa. Selain itu, tulisan ini dibuat untuk mensikapi adanya wacana menjadikan UPK sebagai badan usaha lain, yang bertentangan dengan aspek kesejarahan dan kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Dalam kaitan ini UPK dalam naungan BKAD merupakan kebijakan yang perlu digarisbawahi terkait kebutuhan payung hukum.

III.              Analisis Kebijakan Kelembagaan dan Implementasinya

Kebijakan Program terkait dengan bangunan kelembagaan UPK setidaknya dapat dilihat dari 3 struktur kelembagaan yang berfungsi mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi.
Struktur kelembagaan UPK dibangun melalui 3 strategi yaitu:
1.     Penguatan aspek fungsional organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan SOP UPK secara partisipatif (melibatkan stake holder UPK).
2.     Penguatan aspek aturan dasar organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan Statuta UPK secara partisipatif dalam kerangka organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD).
3.     Penguatan Payung Hukum UPK melalui fasilitasi produk hukum daerah berupa peraturan daerah maupun penetapan SK Kepala Daerah.

Dengan 3 strategi ini maka bangunan kelembagaan UPK dapat menjawab kebutuhan fungsi dan struktur sekaligus, artinya dengan strategi ini tujuan yang ingin dicapai melalui 3 prinsip organisasi partisipatif dapat diwujudkan.

Implementasi dari kebijakan melalui PNPM telah memberikan hasil nyata tentang perkuatan ini, dimana untuk BKAD kategori pemula sebanyak 121, kategori standar sebanyak 807, dan kategori kuat (dengan statuta baik) sebanyak 1600 (data Januari 2011). Bahkan terdapat 356 BKAD telah dikuatkan dengan produk hukum daerah. Sedangkan untuk UPK sendiri berdasarkan data Januari 2011, terdapat kategori pemula sebanyak 717, kategori standar 620, dan kategori kuat (dengan standar operasional baik) sebanyak 1690.

Hal yang berkaitan dengan penetapan peraturan UPK pada dasarnya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan adanya peraturan baru UPK seharusnya memenuhi 3 aspek yaitu:

a.     Aspek Filosofis; menggambarkan nilai program PNPM Mandiri Perdesaan yang telah terinternalisir dalam organisasi UPK dan masyarakat misalnya akuntabilitas, partisipasi, kerjasama, transparansi, sejauh mana daya pelembagaannya. Argumentasi yang dibangun harus membuktikan bahwa kebutuhan peraturan UPK memenuhi aspek filosofis itu.

b.     Aspek Yuridis; ketentuan peraturan yang menjadi acuan, sekalipun mempunyai kewenangan pembuatan (yuridis formal), seharusnya peraturan yang disusun memperhatikan isi peraturan (yuridis material) apakah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih atas, dan apakah peraturan lain yang berkaitan telah dimasukkan.

c.      Aspek Sosiologis; apakah peraturan telah disusun memperhatikan semua hal (terkait dengan kebijakan program) yang telah berjalan di masyarakat, situasi dan kondisi masyarakat, kesiapan masyarakat dalam menerima dan mengimplementasikan produk hukum baru. Hal ini merupakan kajian efektifitas kebutuhan produk hukum baru.

Terhadap 3 aspek kebutuhan yang harus diperhatikan di atas, kebutuhan adanya peraturan baru UPK harus dapat dijelaskan dengan lengkap. Hal yang paling krusial terkait dengan kelembagaan UPK karena menjadi rujukan nasional dalam mendesain bangunan kelembagaan (aspek kebijakan) selain aspek teori dan evaluasi lapangan adalah: Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa.

Kebijakan ini telah menjelaskan 2 aspek kelembagaan UPK yang selama ini kabur, yakni aspek fungsional (melekat secara internal di UPK) dan aspek kelembagaan (payung hukum dan statuta) yang melekat pada organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). Hal ini telah menuntaskan debat tentang masa depan UPK. Selain itu argumentasi tentang kebutuhan peraturan baru UPK menjadi kurang relevan karena evaluasi terhadap implementasi kebijakan UPK sebelumnya menunjukkan perkembangan yang memadai atas kinerja dan kapasitas lembaga (lihat data kerjasama dan data kelembagaan di atas).

Seharusnya kebijakan baru yang dibuat mempertimbangkan kebijakan sebelumnya yang telah berjalan. Hal ini selaras dengan pendapat Merilee S. Grindle (1980), bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya). Demikian juga menurut Richard Matland (1995) yang mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks. Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu:
1.            Ketepatan Kebijakan
2.            Ketepatan Pelaksanaan
3.            Ketepatan Target
4.            Ketepatan Lingkungan


IKesimpulan:

1.  Motif permasalahan karena pelanggaran pelaku sebagai dorongan kebutuhan adanya payung hukum secara teoritis dan pengalaman kurang tepat.

2.  Motif dampak pertukaran program dan kondisi phase out sebagai dorongan kebutuhan adanya penguatan payung hukum dapat diterima akan tetapi mensyaratkan  adanya 3 kondisi berupa adanya indikasi berbahaya yaitu perubahan kepemilikan asset, perubahan mekanisme, serta perubahan mandat dan kewenangan, padahal ketiganya belum ditemukan. Keluarnya peraturan ini lebih sebagai penguat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan.

3.  Motif peluang sebagai pendorong kebutuhan payung hukum baru  dibutuhkan jika pola kerjasama sampai tingkat mandiri/tahap ke-3 dari pola kerjasama, (panduan CSR, nota dinas TL KM Nas, 2008) (dimana pihak ke-2 selain mensyaratkan kematangan internal juga aspek payung hukum organisasi). Pihak ke-2 yang merespon tawaran kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan payung hukum UPK (mengabaikan aspek kekuatan fungsional dan aturan dasar/statuta organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama).

4.  Kebijakan tentang UPK sebagai Bumdes bertentangan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya melalui PNPM Mandiri Perdesaan yang menempatkan UPK sebagai lembaga pengelola kegiatan antar desa. Kebijakan ini juga bertentangan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan serta sudah dijalankan di lapangan bahwa UPK adalah unit kerja pelaksana mandat BKAD. (LW-Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar