Selasa, 28 Juni 2011

http://bkadrogojampi.wordpress.com/kelembagaan

BKAD mengelola blog sebagai media untuk sosialisasi kegiatan kepada masyarakat. Blog sangat strategis bagi organisasi semacam BKAD, karena cepat dan mudah diakses. Diantara yang telah mempunyai blog ini adalah bkadrogojampi

BADAN KERJASAMA ANTAR DESA KECAMATAN ROGOJAMPI
Menu
Hasil Pelaksanaan MAD Prioritas yang telah dilaksanakan pada hari Kamis, 9 Juni 2011 bertempat di pendopo Kecamatan Rogojampi. Kegiatan tersebut dihadiri masing-masing 6 orang pelaku dari 18 desa se Kecamatan Rogojampi
MAD Prioritas bertujuan membahas dan menyusun peringkat usulan kegiatan.yang didasarkan pada :
  1. Hasil diskusi kelompok dengan acuan  kriteria kelayakan yang telah ditetapkan Tim verifikasi.
  2. Hasil Kinerja desa yang meliputi :
    1. Peran serta masyarakat,
    2. RKP-RPJMDes,
    3. Sertifikasi Kegiatan
    4. Kolektibilitas SPP
  3. Nilai Akhir Usulan merupakan jumlah dari 75% Nilai diskusi Kelompok dan 25% nilai Kinerja desa
Dari  20 usulan yang diverifikasi terdapat 5 usulan yang tidak layak karena alasan tehnis dan 15 usulan dinyatakan layak. Berikut terlampir hasil akhir penyusunan peringkat berdasarkan keputusan dalam MAD Prioritas.
Rogojampi, 9 Juni 2011
Ketua,
SLAMET SUBAGYO
Posted in BKAD | Leave a comment
Bantuan langsung Masyarakat (BLM) PNPM-MP yang dikelola UPK sejak tahun 2007 s/d 2010 sebagaimana tersebut dalam tabel berikut : BLM PNPM-MP yang dikelola oleh UPK No Uraian Tahun 2007 2008 2009 2010 1 DOK Perencanaan 70.000.000 43.600.000 44.800.000 44.800.000 2 DOK Pelatihan 18.945.500 28.510.000 28.385.000 29.885.000 3 Kegiatan 1.500.000.000 1.500.000.000 2.000.000.000 2.500.000.000 Jumlah 1.588.945.500 1.572.110.000 … Continue reading →
Posted in UPK | Tagged upk | Leave a comment
Rencana pembentukan BKAD dimulai pada tingkat Kecamatan pada tanggal 23 Mei 2007 dengan menetapkan tim perumus yang terdiri dari PjOK, FK, kepala Desa, BPD dan LPMD. Tindak lanjut dari keputusan tersebut dilanjutkan sosialisasi di Tingkat  Desa melalui Musdes Sosialisasi sejak 26 Mei s.d. 06 Juni 2007 untuk menetapkan calon pengurus dari 18 desa se kecamatan … Continue reading →
UPK PNPM-MP Kecamatan Rogojampi yang berdiri sejak tahun 2007 merupakan lembaga pengelola kegiatan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri Perdesaan. Wilayah kerja UPK meliputi 18 desa yang tersebar di kecamatan Rogojampi yang luasnya sekitar 102 km2. UPK merupakan pelaksana Operasional Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Kecamatan Rogojampi yang  berfungsi sebagai pelaksana operasional dan pengelola … Continue reading →

Senin, 27 Juni 2011

Kerjasama Antar Desa Mendorong Otonomi Desa

(Lendy Wibowo)


Filsafat kerjasama antar desa
  1. Kerjasama antar desa adalah bentuk perwujudan kerjasama antar subyek atau kolektiva yang otonom
  2. Subyek atau kolektiva yang otonom adalah desa
  3. Apakah desa kita saat ini kenyataannya mampu sebagai subyek atau kolektiva yang otonom??

Bagaimana menumbuhkan kesadaran kolektif desa agar kembali otonom??
  1. Otonomi pada konteks desa adalah kekuatan yang melekat pada desa dalam bentuk modal sosial dan modal material serta daya untuk mengelola dan mengembangkannya
  2. Kesadaran kolektif untuk menjadi otonom yang paling mungkin adalah dengan membangun kepentingan kolektif
  3. Kepentingan kolektif saat ini yang mudah digerakkan dalam bentuk kegiatan adalah persoalan kebutuhan dasar masyarakat (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, prasarana dasar, modal usaha)
  4. Adanya kepentingan kolektif terhadap terpenuhinya kebutuhan dasar mampu menggerakkan perubahan
  5. Perubahan yang dimaksud adalah jiwa kolektiva yang otonom
  6. Kerjasama adalah manifestasi dari subyek atau kolektiva yang telah otonom
  7. Kerjasama antar desa adalah agregat kekuatan kolektiva desa untuk terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat agar lebih sejahtera, produktif dan mandiri
  8. Kerjasama antar desa justru menjadi jembatan bagi berkembangnya otonomi desa ke depan 

Kelembagaan Lokal: Mengembangkan Tindakan Kolektif dan Aturan Main

Oleh: Lendy Wibowo
Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa melaksanakan PNPM Mandiri Perdesaan dengan menggunakan pendekatan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan menjadi pilihan dikarenakan pertama, efisiensi pembiayaan program dapat dicapai, kedua, adanya partisipasi masyarakat untuk menyeimbangkan kebutuhan dengan keterbatasan anggaran, dan ketiga, adanya pemihakan bagi kaum miskin agar mereka terlibat dalam proses kegiatan.

Dalam rangka penguatan kelembagaan, maka ada 2 unsur pokok yang harus diperhatikan yaitu kegiatan kolektif di antara mereka, dan aturan main yang disepakati. Kegiatan kolektif adalah agregasi kegiatan bersama berkaitan dengan wujud hak ikut memiliki tiap anggota masyarakat, berjalannya keterwakilan sebagai bagian dari mekanisme pemberian mandat oleh masyarakat, dan menjelaskan batas kewenangan untuk mengukur manfaat dan biaya dari setiap pengambilan keputusan oleh masyarakat.

Aturan main yang disepakati adalah cara masyarakat mampu mengurangi ketidakpastian, menjabarkan usaha keberhasilan, pedoman jalan keluar bagi masalah bersama, serta mengurangi adanya penyimpangan anggota-anggotanya. Untuk lebih mengoptimalkan kualitas keduanya, diperlukan pelaku dan lembaga pengelola yang andal di masyarakat. Keandalan lembaga, selalu bertumpu pada kualitas pengelolaan dan akuntabilitasnya di mata masyarakat sebagai pemangku kepentingan.

PNPM Mandiri Perdesaan  melahirkan lembaga pengelola yang cukup banyak baik di desa maupun di kecamatan, diantaranya adalah TPK, kelompok SPP, kelompok UEP, UPK, dan BP-UPK. Keberadaan lembaga pengelola ini pada umumnya  bersifat ad hoc/sementara (berkaitan dengan kebutuhan program), akan tetapi seiring dengan pendampingan yang baik, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka beberapa lembaga pengelola telah menjadi lembaga permanen, berkaitan dengan statutanya. Hal ini didukung kebijakan nasional.

Lembaga-lembaga ini mempunyai keunggulan yakni pada aspek kualitas kegiatan kolektif selama ada program,  hal ini tercermin dengan adanya penjelasan tentang status kepemilikan, mekanisme keterwakilan dan batas kewenangan. Suatu skema model penguatan kelembagaan perlu memadukan aspek dan unsur di atas dan dikembangkan secara bertahap, terutama untuk menegaskan statuta dari lembaga-lembaga lokal ini. Kelemahan mendasar dari lembaga bentukan program adalah statuta, aturan dasar lembaga yang terabaikan, sehingga kelangsungan pasca program diragukan. Selain aspek statuta, hal lain tentang kelemahan berkaitan dengan legal standing dan keberlangsungan aktifitas bersama mereka.

Ditjen PMD telah mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan dan pelestarian hasil-hasil program. Di antara hasil-hasil program sebelumnya yang perlu dilestarikan dan dikembangkan adalah lembaga pengelola yang ada di desa maupun di kecamatan. Keberadaan lembaga pengelola di kecamatan/antar desa dikuatkan secara legal dalam bentuk Badan Kerjasama Antar Desa (sesuai PP 72/2005). Dengan ketentuan ini, UPK menjadi jelas dan kuat statutanya, terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengelola pembangunan partisipatif antar desa.  Kebijakan ini telah tertuang dalam panduan penataan kelembagaan yang telah disosialisasikan lewat workshop pengintegrasian dalam pembangunan reguler akhir 2006 serta kebijakan tambahan Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan.

Kelembagaan lokal yang kuat diharapkan mampu mengelola kegiatan secara lebih efisien, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan program-program terkait. Dalam rangka Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, maka kegiatan ini diharapkan mampu menjadi bukti kesiapan kelembagaan masyarakat. Integrasi dengan kelembagaan formal di desa seperti dengan Pemerintahan Desa, BPD dan kelembagaan masyarakat lain tentu sangat diharapkan.


Selasa, 21 Juni 2011

Pentingnya UPK Sebagai Lembaga Antar Desa Dalam Naungan BKAD (bagian ketiga)

Analisis kebutuhan kebijakan tentang UPK
Oleh: Lendy W Wibowo

______________________________________________________________________________


Tulisan ini dibuat untuk meyakinkan efektivitas keberadaan UPK sebagai lembaga pengelola kegiatan antar desa. Selain itu, tulisan ini dibuat untuk mensikapi adanya wacana menjadikan UPK sebagai badan usaha lain, yang bertentangan dengan aspek kesejarahan dan kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Dalam kaitan ini UPK dalam naungan BKAD merupakan kebijakan yang perlu digarisbawahi terkait kebutuhan payung hukum.

I.           Rekomendasi:

1.    Treatment baru UPK sebaiknya lebih kepada peningkatan kualitas pelayanan, kualitas kinerja, berkembangnya kapasitas. Ketiga hal itu merupakan unsur pembangun kepercayaan masyarakat. Bentuk-bentuk treatment misalnya standar pelayanan, sistem informasi manajemen, pengembangan skem kredit dan usaha/portofolio investasi, SOP, visi, misi, nilai dan budaya organisasi.

2.    Payung hukum UPK dalam bentuk produk hukum daerah (Perda, SK Bupati)  seharusnya memperhatikan bangunan kelembagaan yang ditetapkan. Peraturan yang disusun menjawab kebutuhan fungsi dan struktur sekaligus. Secara struktur mempunyai daya mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif secara lebih baik, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan secara fungsi mampu mendorong para pihak untuk makin meningkatkan strategi dan implementasi pengembangan fungsi (kemampuan adaptasi, tujuan, integrasi antar bagian, dan latensi fungsi).

3.    Dengan memperhatikan peraturan, pengalaman proses perkembangan UPK, dan kebutuhan pengembangan UPK ke depan, maka badan hukum UPK tidak diperlukan saat ini. Untuk efisiensi dan efektifitasnya, fasilitasi terhadap payung hukum (bukan badan hukum) dilakukan setelah AD/ART BKAD, SOP UPK serta SOP BP-UPK ditetapkan oleh MAD.

4.    Kalaupun diperlukan kajian kebutuhan peraturan UPK (baru, atau tambahan) harus dapat didefinisikan dan mempunyai tujuan yang jelas. Tinjauan aspek nilai, yuridis, dan sosiologis dari peraturan ini harus dilakukan. Definisi dan tujuan di dalamnya termasuk akomodasi yuridis terhadap kebijakan yang telah ada dan berjalan di PNPM Mandiri Perdesaan (PTO, Panduan dsb), serta terhadap kabupaten yang telah menerbitkan produk hukum daerah baik dalam bentuk perda maupun SK Bupati.

5.    Peraturan yang disusun harus mempunyai koneksi dengan kebutuhan yang paling nyata di  lapangan, misalnya terkait dengan dampak pertukaran program. Peraturan tidak cukup sekedar memastikan akan tetapi mempunyai daya dorong bagi koordinasi para pihak agar fasilitasi terhadap kelembagaan UPK tetap berjalan dengan memperhatikan standar fungsi organisasi, aturan dasar organisasi, dan payung hukum yang ada.

6.    3 aspek yang harus dipenuhi dalam kaitan peraturan UPK adalah aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Jika tidak ada penjelasan tentang 3 aspek ini maka kebutuhan adanya peraturan (baru) UPK tidak dapat didefinisikan dan tidak jelas tujuannya (Talcott Parson, Fungsionalisme Struktural, Ritzer, Goodman, 2003).

7.    Wacana menjadikan UPK sebagai Bumdes tidak relevan. UPK sejak awal dibentuk sebagai lembaga yang mengelola kegiatan di tingkat antar desa. Keberadaannya strategis, karena menempati posisi yang paling kuat sebagai lembaga milik masyarakat antar desa. Posisioning UPK seperti saat ini justru sudah tepat dan kuat, kedudukannya menjadi penyeimbang kepentingan desa dan daerah serta dapat terhindar dari kooptasi yang akan menggeser kepentingan masyarakat. Secara historis UPK dibentuk, berjalan dan berkembang juga atas dasar keputusan desa-desa dalam musyawarah antar desa bukan satu desa, sehingga menjadikan UPK sebagai Bumdes tidak tepat.

8.    UPK sebagai unit kerja dalam naungan BKAD secara kelembagaan telah berjalan, baik dari segi kinerja mapun kapasitasnya, terbukti dari perkembangan kerjasama dengan pihak ketiga, hal ini menunjukkan berkembangnya trust dan sinergi dengan pihak lain, dari basis konsep dan kebijakan kerjasama antar desa.

9.    Status kepemilikan UPK adalah milik masyarakat. Masyarakat dalam suatu kecamatan adalah pemilik sah dari aset yang dikelola UPK. Kepemilikan ini bersifat kolektif. Hak status kepemilikan ini harus dicantumkan dalam aturan dasar organisasi yang dibahas dan ditetapkan dalam suatu musyawarah antar desa. Kepemilikan kolektif ini manfaatnya bisa diakses oleh mereka sesuai cita-cita awal pendirian yakni masyarakat miskin dalam kecamatan tersebut, sedangkan pengambilan keputusan dilakukan melalui representasi wakil-wakil desa dalam suatu musyawarah antar desa.

10.    UPK adalah lembaga pengelola dana program sekaligus mengelola dana bergulir. Wacana pemisahan fungsi ini tidak jelas, justru dua fungsi ini saling mendukung dan memperkuat. UPK pada umumnya juga telah menjalankan fungsi-fungsi ini dengan baik.

11.    UPK adalah unit kerja dalam naungan Badan Kerjasama Antar Desa. UPK mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat melalui rapat tertinggi BKAD yakni MAD. BKAD dalam kaitan UPK harus mampu merumuskan rencana strategis pengembangan/bussines plan, mampu mengawasi dan menindaklanjuti hasil pengawasan, serta mampu mengevaluasi kinerja UPK.

12.    BKAD dibentuk tidak hanya dalam kaitan UPK. BKAD dibentuk untuk peran yang lebih luas menyangkut mengorganisir perencanaan dan pelaksanaan pembangunan partisipatif, mengembangkan bentuk-bentuk kerjasama antar desa, mengembangkan aset produktif masyarakat non dana bergulir, mengorganisir pelaku dan lembaga antar desa, melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dsb.

                                 ______________________________________

Daftar Pustaka

1.   Riant Nugroho DR, 2002, Public Policy, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
2.   Erani Yustika DR, 2008, Ekonomi Kelembagaan, Bayu Media, Malang
3.   Randy W, Riant Nugroho, 2006, Manajemen Pembangunan Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta
4.   Subarsono, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
5.   Joko Widodo, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Bayu  Media, Malang
6.   Irtanto, 2008, Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
7.   JJ Rousseau, 2007, Du Contract Social, Visi Media, Jakarta
8.   Widjajono Partowidagdo, 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Pasca Sarjana ITB, Bandung
9.   Anthony Giddens, 2010, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
10. James S Colleman, 2010, Dasar-Dasar Teori Sosial, Nusa Media, Bandung
11. 2009, Himpunan Peraturan, Depdagri, Jakarta

Referensi Peraturan dan Kebijakan:

1.   UU 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
2.   PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa
3.   PP 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan
4.   Perpres 13 Tahun 2009 Tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
5.   Permendagri 5 Tahun 2007 Tentang Penataan Lembaga Kemasyarakatan
6.   Permendagri 16 Tahun 2006 Tentang Produk Hukum Daerah
7.   Permendagri 29 Tahun 2006 Tentang Penyusunan Peraturan Desa
8.   Permendagri 30 Tahun 2006 Tentang Penyerahan Urusan daerah Kepada Desa
9.   Pedoman Umum PNPM Mandiri Tahun 2007
10. PTO PNPM Mandiri Perdesaan
11. Penjelasan XI PTO tentang Penataan Kelembagaan
12. Panduan Penataan Kelembagaan Tahun 2006
13. Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa)

Pentingnya UPK Sebagai Lembaga Antar Desa Dalam Naungan BKAD (bagian kedua)


Analisis kebutuhan kebijakan tentang UPK
Oleh: Lendy W Wibowo

______________________________________________________________________________


Tulisan ini dibuat untuk meyakinkan efektivitas keberadaan UPK sebagai lembaga pengelola kegiatan antar desa. Selain itu, tulisan ini dibuat untuk mensikapi adanya wacana menjadikan UPK sebagai badan usaha lain, yang bertentangan dengan aspek kesejarahan dan kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya. Dalam kaitan ini UPK dalam naungan BKAD merupakan kebijakan yang perlu digarisbawahi terkait kebutuhan payung hukum.

III.              Analisis Kebijakan Kelembagaan dan Implementasinya

Kebijakan Program terkait dengan bangunan kelembagaan UPK setidaknya dapat dilihat dari 3 struktur kelembagaan yang berfungsi mengamankan 3 prinsip organisasi partisipatif, yakni status kepemilikan asset berada di tangan masyarakat, mekanisme partisipatif tetap terjaga, serta kewenangan para pihak dapat didefinisikan untuk mencapai tujuan organisasi.
Struktur kelembagaan UPK dibangun melalui 3 strategi yaitu:
1.     Penguatan aspek fungsional organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan SOP UPK secara partisipatif (melibatkan stake holder UPK).
2.     Penguatan aspek aturan dasar organisasi melalui perumusan, penyusunan, penetapan Statuta UPK secara partisipatif dalam kerangka organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD).
3.     Penguatan Payung Hukum UPK melalui fasilitasi produk hukum daerah berupa peraturan daerah maupun penetapan SK Kepala Daerah.

Dengan 3 strategi ini maka bangunan kelembagaan UPK dapat menjawab kebutuhan fungsi dan struktur sekaligus, artinya dengan strategi ini tujuan yang ingin dicapai melalui 3 prinsip organisasi partisipatif dapat diwujudkan.

Implementasi dari kebijakan melalui PNPM telah memberikan hasil nyata tentang perkuatan ini, dimana untuk BKAD kategori pemula sebanyak 121, kategori standar sebanyak 807, dan kategori kuat (dengan statuta baik) sebanyak 1600 (data Januari 2011). Bahkan terdapat 356 BKAD telah dikuatkan dengan produk hukum daerah. Sedangkan untuk UPK sendiri berdasarkan data Januari 2011, terdapat kategori pemula sebanyak 717, kategori standar 620, dan kategori kuat (dengan standar operasional baik) sebanyak 1690.

Hal yang berkaitan dengan penetapan peraturan UPK pada dasarnya harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan adanya peraturan baru UPK seharusnya memenuhi 3 aspek yaitu:

a.     Aspek Filosofis; menggambarkan nilai program PNPM Mandiri Perdesaan yang telah terinternalisir dalam organisasi UPK dan masyarakat misalnya akuntabilitas, partisipasi, kerjasama, transparansi, sejauh mana daya pelembagaannya. Argumentasi yang dibangun harus membuktikan bahwa kebutuhan peraturan UPK memenuhi aspek filosofis itu.

b.     Aspek Yuridis; ketentuan peraturan yang menjadi acuan, sekalipun mempunyai kewenangan pembuatan (yuridis formal), seharusnya peraturan yang disusun memperhatikan isi peraturan (yuridis material) apakah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih atas, dan apakah peraturan lain yang berkaitan telah dimasukkan.

c.      Aspek Sosiologis; apakah peraturan telah disusun memperhatikan semua hal (terkait dengan kebijakan program) yang telah berjalan di masyarakat, situasi dan kondisi masyarakat, kesiapan masyarakat dalam menerima dan mengimplementasikan produk hukum baru. Hal ini merupakan kajian efektifitas kebutuhan produk hukum baru.

Terhadap 3 aspek kebutuhan yang harus diperhatikan di atas, kebutuhan adanya peraturan baru UPK harus dapat dijelaskan dengan lengkap. Hal yang paling krusial terkait dengan kelembagaan UPK karena menjadi rujukan nasional dalam mendesain bangunan kelembagaan (aspek kebijakan) selain aspek teori dan evaluasi lapangan adalah: Surat edaran MENDAGRI No: 414.2/1402/PMD TAHUN 2006; tentang Pelestarian dan pengembangan hasil-hasil PPK dan perlunya membentuk badan kerjasama antar desa.

Kebijakan ini telah menjelaskan 2 aspek kelembagaan UPK yang selama ini kabur, yakni aspek fungsional (melekat secara internal di UPK) dan aspek kelembagaan (payung hukum dan statuta) yang melekat pada organisasi Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD). Hal ini telah menuntaskan debat tentang masa depan UPK. Selain itu argumentasi tentang kebutuhan peraturan baru UPK menjadi kurang relevan karena evaluasi terhadap implementasi kebijakan UPK sebelumnya menunjukkan perkembangan yang memadai atas kinerja dan kapasitas lembaga (lihat data kerjasama dan data kelembagaan di atas).

Seharusnya kebijakan baru yang dibuat mempertimbangkan kebijakan sebelumnya yang telah berjalan. Hal ini selaras dengan pendapat Merilee S. Grindle (1980), bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks implementasinya). Demikian juga menurut Richard Matland (1995) yang mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks. Pada prinsispnya matrik matland memiliki “empat tepat” yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu:
1.            Ketepatan Kebijakan
2.            Ketepatan Pelaksanaan
3.            Ketepatan Target
4.            Ketepatan Lingkungan


IKesimpulan:

1.  Motif permasalahan karena pelanggaran pelaku sebagai dorongan kebutuhan adanya payung hukum secara teoritis dan pengalaman kurang tepat.

2.  Motif dampak pertukaran program dan kondisi phase out sebagai dorongan kebutuhan adanya penguatan payung hukum dapat diterima akan tetapi mensyaratkan  adanya 3 kondisi berupa adanya indikasi berbahaya yaitu perubahan kepemilikan asset, perubahan mekanisme, serta perubahan mandat dan kewenangan, padahal ketiganya belum ditemukan. Keluarnya peraturan ini lebih sebagai penguat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan.

3.  Motif peluang sebagai pendorong kebutuhan payung hukum baru  dibutuhkan jika pola kerjasama sampai tingkat mandiri/tahap ke-3 dari pola kerjasama, (panduan CSR, nota dinas TL KM Nas, 2008) (dimana pihak ke-2 selain mensyaratkan kematangan internal juga aspek payung hukum organisasi). Pihak ke-2 yang merespon tawaran kerjasama dengan UPK hanya mensyaratkan payung hukum UPK (mengabaikan aspek kekuatan fungsional dan aturan dasar/statuta organisasi berarti tidak bisa menghitung resiko kerjasama).

4.  Kebijakan tentang UPK sebagai Bumdes bertentangan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya melalui PNPM Mandiri Perdesaan yang menempatkan UPK sebagai lembaga pengelola kegiatan antar desa. Kebijakan ini juga bertentangan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan serta sudah dijalankan di lapangan bahwa UPK adalah unit kerja pelaksana mandat BKAD. (LW-Bersambung)