Senin, 27 Juni 2011

Kelembagaan Lokal: Mengembangkan Tindakan Kolektif dan Aturan Main

Oleh: Lendy Wibowo
Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa melaksanakan PNPM Mandiri Perdesaan dengan menggunakan pendekatan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan menjadi pilihan dikarenakan pertama, efisiensi pembiayaan program dapat dicapai, kedua, adanya partisipasi masyarakat untuk menyeimbangkan kebutuhan dengan keterbatasan anggaran, dan ketiga, adanya pemihakan bagi kaum miskin agar mereka terlibat dalam proses kegiatan.

Dalam rangka penguatan kelembagaan, maka ada 2 unsur pokok yang harus diperhatikan yaitu kegiatan kolektif di antara mereka, dan aturan main yang disepakati. Kegiatan kolektif adalah agregasi kegiatan bersama berkaitan dengan wujud hak ikut memiliki tiap anggota masyarakat, berjalannya keterwakilan sebagai bagian dari mekanisme pemberian mandat oleh masyarakat, dan menjelaskan batas kewenangan untuk mengukur manfaat dan biaya dari setiap pengambilan keputusan oleh masyarakat.

Aturan main yang disepakati adalah cara masyarakat mampu mengurangi ketidakpastian, menjabarkan usaha keberhasilan, pedoman jalan keluar bagi masalah bersama, serta mengurangi adanya penyimpangan anggota-anggotanya. Untuk lebih mengoptimalkan kualitas keduanya, diperlukan pelaku dan lembaga pengelola yang andal di masyarakat. Keandalan lembaga, selalu bertumpu pada kualitas pengelolaan dan akuntabilitasnya di mata masyarakat sebagai pemangku kepentingan.

PNPM Mandiri Perdesaan  melahirkan lembaga pengelola yang cukup banyak baik di desa maupun di kecamatan, diantaranya adalah TPK, kelompok SPP, kelompok UEP, UPK, dan BP-UPK. Keberadaan lembaga pengelola ini pada umumnya  bersifat ad hoc/sementara (berkaitan dengan kebutuhan program), akan tetapi seiring dengan pendampingan yang baik, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka beberapa lembaga pengelola telah menjadi lembaga permanen, berkaitan dengan statutanya. Hal ini didukung kebijakan nasional.

Lembaga-lembaga ini mempunyai keunggulan yakni pada aspek kualitas kegiatan kolektif selama ada program,  hal ini tercermin dengan adanya penjelasan tentang status kepemilikan, mekanisme keterwakilan dan batas kewenangan. Suatu skema model penguatan kelembagaan perlu memadukan aspek dan unsur di atas dan dikembangkan secara bertahap, terutama untuk menegaskan statuta dari lembaga-lembaga lokal ini. Kelemahan mendasar dari lembaga bentukan program adalah statuta, aturan dasar lembaga yang terabaikan, sehingga kelangsungan pasca program diragukan. Selain aspek statuta, hal lain tentang kelemahan berkaitan dengan legal standing dan keberlangsungan aktifitas bersama mereka.

Ditjen PMD telah mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan dan pelestarian hasil-hasil program. Di antara hasil-hasil program sebelumnya yang perlu dilestarikan dan dikembangkan adalah lembaga pengelola yang ada di desa maupun di kecamatan. Keberadaan lembaga pengelola di kecamatan/antar desa dikuatkan secara legal dalam bentuk Badan Kerjasama Antar Desa (sesuai PP 72/2005). Dengan ketentuan ini, UPK menjadi jelas dan kuat statutanya, terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengelola pembangunan partisipatif antar desa.  Kebijakan ini telah tertuang dalam panduan penataan kelembagaan yang telah disosialisasikan lewat workshop pengintegrasian dalam pembangunan reguler akhir 2006 serta kebijakan tambahan Petunjuk Teknis Operasional PNPM Mandiri Perdesaan.

Kelembagaan lokal yang kuat diharapkan mampu mengelola kegiatan secara lebih efisien, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelaksanaan program-program terkait. Dalam rangka Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, maka kegiatan ini diharapkan mampu menjadi bukti kesiapan kelembagaan masyarakat. Integrasi dengan kelembagaan formal di desa seperti dengan Pemerintahan Desa, BPD dan kelembagaan masyarakat lain tentu sangat diharapkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar